Suara.com – Hingga Selasa (18/10), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat 206 kasus gagal ginjal akut pada anak, 99 orang diantaranya meninggal dunia.
Kebetulan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melarang peredaran sirup tersebut kepada anak-anak dan orang dewasa di Indonesia.
Keputusan tersebut membuat banyak orang tua kecewa, seperti yang diungkapkan oleh dokter anak Satria Denta Kurniawan yang juga dr. Giginya diketahui.
Ia juga menanyakan beberapa pertanyaan tentang hubungan antara cedera ginjal akut pada anak-anak dan larangan jus.
“Banyak yang menghubungi saya akhir-akhir ini untuk mengonfirmasi hal ini,” katanya.
“Semua orang dari media sosial, pasien, perguruan tinggi media, dan grup WhatsApp ada di sana.” Apa yang dilakukan orang tua?
Dr. Denta mengatakan, jika anak sudah diberi resep sirup, orang tua disarankan menghubungi dokter jika obat dihentikan atau diganti.
Ia juga mengimbau para orang tua untuk mengenali kondisi anaknya yang sakit.
“Penting untuk mengetahui apakah ini saat yang memerlukan tindakan segera atau tidak,” ujarnya.
Misalnya, jika Anda aman, waspada, bisa minum dengan baik, aktif, dan suhu tubuh tidak terlalu tinggi, Anda bisa memberi anak banyak cairan, kompres hangat, dan sebagainya, tetapi perhatikan tanda-tandanya.
Kedua, pelarangan jus bersifat sementara, karena obat harus diberikan secara bijak.
“Apa yang saya sampaikan kepada pasien tidak selalu berupa obat,” katanya.
“Kalaupun butuh obat, temui dokter dulu,” ujarnya.
“Jadi anak bisa dipertimbangkan, obatnya apa, untuk berapa lama, atau mungkin tidak perlu obat sama sekali?” Apa penyebab gagal ginjal akut?
Meningkatnya jumlah anak yang meninggal akibat gagal ginjal akut di Indonesia menjadi sorotan seiring dengan adanya investigasi atas kematian 70 anak yang dilakukan oleh Pemerintah Gambia.
Mereka diduga meninggal karena kandungan glilen dan edklin dalam sirup parasetamol.
Sejauh ini Kementerian Kesehatan RI bekerja sama dengan ahli epidemiologi, BPOM, IDAI dan Puslabfor terus mendalami situasi di Indonesia.
Dalam surat yang dikeluarkan pada 18 Oktober, Kementerian Kesehatan RI meminta rumah sakit melakukan uji toksikologi terhadap semua obat untuk anak penderita gagal ginjal akut dan gagal ginjal akut.
Selasa (18/10) lalu, Kementerian Kesehatan menyatakan gagal ginjal “tidak ada hubungannya dengan gagal ginjal atau infeksi 19”.
Dr. Denta mengatakan, belum ada kesimpulan pasti dari penyelidikan tersebut karena ada banyak kemungkinan penyebab kematian, kecuali mungkin terkait dengan insiden di Gambia.
Kemungkinan lain terjadinya masalah ginjal, katanya, adalah disebabkan oleh infeksi, yang “banyak terjadi akhir-akhir ini”.
“Penyebab lain gangguan ginjal bisa jadi adalah infeksi yang meski ringan namun sering terjadi, seperti batuk dan pilek,” ujarnya.
“Rasanya ringan, tapi bisa 2-3 kali… jadi infeksinya langsung ke ginjal, atau tidak langsung, mempengaruhi atau mengganggu fungsi ginjal.” Apakah melarang peredaran rum merupakan keputusan yang tepat?
Dr. Denta mengakui bahwa melarang distribusi jus ini “adalah keputusan yang sulit untuk diambil secara hati-hati.”
Namun, sebagai dokter di lapangan, ia berpesan agar Kementerian Kesehatan RI dan BPOM “proaktif memberikan update terbaru”.
“Yang sulit bagi kami adalah transparansi pihak berwenang, karena kami tidak menerima konstitusi di bidang yang pertama kali kami terima secepat mungkin,” ujarnya.
Ia juga mengatakan bahwa siklus yang ada seringkali “tidak terdengar sama” dan menimbulkan kebingungan.
Menurutnya, rencana adopsi juga harus dilengkapi dengan solusi.
“Sebenarnya sirup sulit dilarang, karena obat ini sangat digemari anak-anak,” ujarnya.
“Jangan hentikan kami, tapi ganggu anak-anak yang sangat membutuhkan obat agar kami bisa mengorbankan mereka.”
Sebelumnya, beredar juga cuitan di WhatsApp mengenai daftar nama 15 jus obat terlarang terkait kejadian tersebut.
Meski Kementerian Kesehatan RI belum menerbitkan daftar resmi obat yang mengandung etilen glikol karena masih dalam proses pengujian.
“Kementerian Kesehatan tidak pernah menerbitkan daftar yang memuat nama obat dan identifikasi produknya yang kini beredar luas,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. kata Mohammad Syahril dalam keterangannya.
“Kami dapat memastikan bahwa informasi ini tidak benar.”
Saat ini Kementerian Kesehatan telah memperoleh obat-obatan khusus untuk anak penderita gagal ginjal akut, sesuai rekomendasi dokter anak setempat dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pihaknya juga meminta saran dari WHO di Gambia, Afrika Barat, sebagai ahli.