REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penetapan Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai ibu kota kepulauan (IKN) sendiri menjadi sebuah tantangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, apalagi pada tahun 2045 ditargetkan 1,9 juta orang akan masuk IKN. . Menyikapi hal tersebut, Universitas Mulia Balikpapan berupaya mengambil peran untuk mengkaji langkah-langkah lain yang dapat dilakukan agar Kaltim lebih siap dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
“Tugas kami sebagai akademisi di Kaltim tidak hanya di kampus untuk menghasilkan mahasiswa yang unggul. Tapi juga dalam proses penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan adanya IKN ini, kami ingin lebih banyak belajar agar Kaltim bisa mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi hal tersebut. Pangan itu dibutuhkan,” kata Rektor Universitas Mulya Balikpapan Mohammad Ahsan Rifai pada Senin (27/11/2023) melalui siaran pers.
Menurutnya, pihaknya berperan penting dalam proses pengembangan IKN dari sisi keilmuan hingga memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memperkuat kebutuhan pangan. Tesis ini disahkan melalui simposium bertajuk “Ketahanan Pangan dan Teknologi Informasi Tahun 2024” yang diharapkan dapat memberikan solusi permasalahan ketahanan pangan.
Ahsan menjelaskan, tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu terkini di bidang keamanan pangan dan teknologi informasi. Selain itu, terdapat kolaborasi antar pemangku kepentingan antara lain pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat umum.
Selain itu, Ahsan juga berharap memiliki platform untuk berbagi penelitian dan pengalaman di bidang keamanan pangan dan teknologi informasi serta aspek ekonomi dan hukum bisnis. “Juga mendorong inovasi dan pengembangan solusi permasalahan ketahanan pangan melalui pemanfaatan teknologi informasi terkini,” jelasnya.
Profesor Ahmad Bini Mutiara dari Universitas Gunadharma yang hadir dalam acara tersebut menekankan pada pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan membangun industri pertanian berkelanjutan. Pria yang kerap disapa Benny ini menjelaskan, penggunaan kecerdasan buatan dan robot memang banyak diterapkan di banyak negara berkembang.
“Tentunya kita harus segera beradaptasi dengan perkembangan teknologi 5.0 di masyarakat. Penerapan smart farming dan pemanfaatan big data di industri pertanian akan memperkuat ketahanan pangan kita,” jelasnya.
Sementara itu, Profesor Angkus Ahmad Kankoro dari Universitas Bina Nusantara berharap pemanfaatan teknologi pada industri pertanian akan menciptakan ekonomi pembagian yang adil di Indonesia. Dimana petani lebih berkuasa dibandingkan pemilik modal atau perantara yang mengandalkan pasar dan distribusi.
Dijelaskannya, melalui pemanfaatan teknologi informasi akan tercipta kesejahteraan bagi para petani, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, cita-cita tersebut akan terwujud apabila model ekonomi berbasis koperasi dapat dilaksanakan sepenuhnya di bidang pertanian dan perikanan. dan industri peternakan.
Ia mengatakan: “Namun yang memulainya sebaiknya dari kalangan perguruan tinggi, agar tidak dikuasai oleh perusahaan besar. Karena dengan era modern, sharing economy bisa menjadi model bisnis yang baik jika tidak ada monopoli.” Jika pengembang aplikasi pertanian adalah perusahaan besar yang hanya mencari keuntungan, lanjutnya, akan sulit bagi kita para petani untuk mencapai kesejahteraan yang kita impikan.
Selain itu, Profesor Deni S.B. Yohravan dari Universitas Thirunojoyo menekankan masih masifnya marginalisasi petani dalam pengembangan agroindustri. Ia menegaskan, sering muncul konflik di bidang pertanian dalam Program Aset Pangan yang berujung pada kriminalisasi aktivitas petani, atau pembebasan lahan dan penggusuran paksa atas nama kepentingan umum.
Ia mengatakan, penyebab konflik pertanian yang berkepanjangan ini adalah karena pemerintah terlihat tidak serius dalam melaksanakan reformasi pertanian. Oleh karena itu, semakin banyak lahan yang dikuasai oleh perusahaan atau investor, dan pemerintah lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur dibandingkan pembangunan masyarakat, salah satunya melalui program strategis nasional yang berdampak pada pembebasan lahan masyarakat.
Oleh karena itu, ia menghimbau agar dalam pengembangan pertanian atau industri lainnya, Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia atau UNGP harus selalu didahulukan. Ia mengatakan: “Harus ada kerjasama aktif antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat, agar hak asasi manusia tidak diingkari dalam pelaksanaan proses komersial. Pemerintah berkewajiban mencegah kegiatan komersial yang dapat melanggar hak asasi manusia. Melindungi warga negara.” .
Direktur Eksekutif Erlanga Foundation Agung Sakthi Prabadi berharap hasil simposium ini dapat menjadi acuan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk menciptakan ketahanan pangan berbasis teknologi informasi termodern dan tercanggih yang diterapkan. Karena mengedepankan asas keadilan, pihaknya selaku pemilik Universitas Mulia Balikpapan mendorong diadakannya focus group Discussion sebagai tindak lanjut dari simposium tersebut.
“Saya berharap ide dan pemikiran kita dapat terus berlanjut dalam FGD kedepannya. Agar kita bisa bersatu dalam proses membangun IKN sebagai pusat peradaban modern Indonesia dan komunitas internasional,” kata Agong.