Liputan6.com, Jakarta Indonesia memiliki banyak sumber daya alam dan sumber daya batubara. Berdasarkan informasi Badan Geologi, cadangan batubara Indonesia saat ini berjumlah 99,19 miliar ton dengan cadangan 35,02 miliar ton.
Batubara tidak hanya berperan penting dalam transmisi listrik, namun batubara harus digunakan secara efisien demi kepentingan kesehatan manusia.
Menurut Wakil Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia Ezra Leonard Sibarani, berdasarkan informasi Kementerian ESDM, jika diperkirakan 700 juta ton per tahun, maka cadangan batu bara tersebut akan habis di masa depan. dalam waktu dekat. Usia 47-50.
Jika digunakan hanya untuk kebutuhan dalam negeri yang diperkirakan mencapai 200 juta per tahun menurut statistik peningkatan kendaraan listrik, cadangan karbonnya akan bertahan hingga 150 tahun.
“Jadi jalannya masih panjang, kalau kita lihat NZE 2060, berarti batubaranya masih banyak. Jadi, apa yang bisa kita lakukan? kata Esdras dalam konferensi bertajuk “Peran Strategis Batubara dalam Transisi Energi” yang diselenggarakan oleh Energy and Mining Editor Society (E2S), Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Jumat, Desember. 15 Agustus 2023.
Selain Esdras, workshop tersebut menghadirkan pembicara Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Lana Sari; Wakil Kepala Pengembangan Batubara PT PLN Energi Primer Indonesia Eko Yuniarto; Magister Teknik Boedi Widatnodjo, dan Kepala Pusat Kebijakan Energi ITB Dr Retno Gumilang Dewi.Ezra mengatakan, saat ini tantangan transisi penggunaan energi baru terbarukan adalah biaya yang sangat dibutuhkan, yakni mencapai Rp 3.500 triliun.
Perlunya investasi besar untuk mencapai tujuan netralitas karbon atau Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, salah satunya dengan menghentikan banyak pembangkit listrik tenaga batubara.
Meski pembangkit listrik dengan teknologi baru masih bisa digunakan, namun hal ini lebih baik bagi lingkungan. “Karena batu bara masih tersedia dan biaya konversi listriknya tinggi, kenapa tidak menggunakan batu bara,” ujarnya.
Esdras mengatakan, karena tingginya konsumsi energi batu bara, IMA meminta untuk mempertimbangkan apakah bisa digunakan setelah tahun 2060.
Selain besarnya pangsa batubara, biaya konversi listrik menggunakan Energi Terbarukan juga sangat tinggi.
“Kita harus berpikir matang-matang, jangan sampai kita berutang lebih banyak kepada anak cucu kita,” ujarnya.
Menurut Esdras, pemerintah harus mempertimbangkan rencana jangka pendek dan jangka panjang penggunaan batu bara di PLTU ketika mempertimbangkan dana EBTKE di sektor tersebut.
“Jadi idenya adalah batubara bersih. Jika memungkinkan, pemerintah dapat mempertimbangkan pengurangan emisi. Oleh karena itu, dana pemerintah tidak boleh terbebani dan tidak boleh cepat ditransfer agar bisa digunakan secara efektif,” kata Ezra.
Eko mengatakan, di Pulau Jawa dan Bali pada tahun 2024, kebutuhan batu bara meningkat sebesar 90 juta ton, begitu pula di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, kebutuhan batu bara semakin meningkat.
“Pada tahun 2025 kebutuhan batu bara akan menurun karena banyak PLTU yang pensiun,” kata Eko. Ia mengatakan, kebutuhan batu bara hingga tahun 2030 akan terus meningkat hingga mencapai 153 juta ton pada tahun 2030.
“Sama dengan pertumbuhan permintaan, cofiring juga meningkat dan green energy meningkat, namun kontribusinya lebih kecil dibandingkan pertumbuhan PLTU,” kata Eko.
Lana Saria mengamini peran batu bara penting karena penggunaan energi terbarukan pada masa transisi energi saat ini hanya sekitar 2% dari energi saat ini.
“Batubara masih mendominasi sebesar 42,4%, disusul minyak sebesar 31,4% serta gas dan EBT. Jadi masih menjadi sumber energi utama, karena batubara masih memiliki peluang lebih besar dibandingkan sumber energi lainnya,” kata Lana.
Pada tahun 2023, produksi batu bara mencapai 694,5 juta ton. Produksi DMO sebesar 176,8 juta ton dan ekspor 517,7 juta ton.
“Produksi hingga November mencapai 710,75 juta ton batu bara. Kalau sebulan 64,6 juta ton, akhir tahun menjadi 775,17 juta ton atau 111% dari target 2023,” kata Lana.
Sumber daya batubara di Indonesia sebagian besar berkalori sedang (5.100-6.100 kal/g) yakni 54% dan rendah kalori <5.100 kal/g) 34%. Tak hanya menyokong sumber energi negara, batu bara juga memberikan kontribusi signifikan terhadap anggaran pemerintah.
Melalui pembayaran dana pemerintah tidak kena pajak (PNBP), kontribusi karbon dilaporkan paling besar dibandingkan produk mineral dan karbon lainnya, seperti emas dan tembaga.
“Pada 11 Desember 2023, carbon pricing PNBP mencapai Rp94,59 triliun, melampaui target PNBP 2023 sebesar Rp84,26 triliun,” kata Lana.